Seren Taun: Festival Panen dan Syukur Masyarakat Sunda
Seren Taun adalah festival panen tahunan masyarakat Sunda di Jawa Barat, yang diadakan untuk merayakan akhir tahun pertanian, mengucap syukur atas hasil panen padi, dan memohon keberhasilan untuk musim tanam berikutnya. Acara ini berakar dari era Kerajaan Sunda kuno (Pajajaran) dan awalnya dipersembahkan kepada Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda pra-Islam.
Makna dan Filosofi
Nama “Seren Taun” berasal dari istilah Sunda, yaitu seren yang berarti “menyerahkan” dan taun yang berarti “tahun”, yang mencerminkan peralihan dari tahun pertanian yang lama ke tahun yang baru. Ritualnya mencerminkan rasa syukur pada Tuhan dan alam, sekaligus memperkuat ikatan komunitas serta melestarikan budaya agraris yang telah diwariskan selama berabad‑abad.
Lokasi dan Waktu
Perayaan ini diadakan di sejumlah kampung adat masyarakat Sunda, seperti di Cigugur (Kuningan), Ciptagelar (Sukabumi), Sindang Barang (Bogor), Kampung Naga (Tasikmalaya), serta di wilayah Kanekes (Banten). Umumnya digelar bulan Rayagung dalam kalender Sunda (bertepatan Januari–Februari), di desa Cigugur dilangsungkan setiap 18–22 Rayagung.
Rangkaian Ritual
Ritual utama meliputi:
Ngajayak: prosesi membawa hasil panen ke pendopo atau “leuit” (lumbung padi tradisional), dilanjutkan dengan doa dan ucapan syukur.
Ngadiukeun: peletakan padi “ibu-padi” dan “bapak-padi” di leuit utama, sebagai benih suci untuk musim tanam berikutnya .
Pengumpulan air sakral: air dari tujuh mata air suci dipersembahkan lalu digunakan untuk menyirami umat agar memperoleh keberuntungan .
Sedekah kue dan tumpeng: warga membawa makanan untuk dinikmati bersama, serta menabur nasi atau kue agar mendapat berkah .
Tumbuk padi massal: proses penumbukan padi oleh sejumlah wanita menandai simbol pemurnian dan rasa kebersamaan .
Pertunjukan seni tradisional: termasuk tari Buyung, angklung Buhun, angklung Buncis, pencak silat, wayang golek, dan musik Sunda lain.
Leuit: Simbol Kelimpahan
Leuit, lumbung padi tradisional Sunda yang dibangun di atas tiang, memiliki dua jenis: leuit indung (utama) dan leuit pangiring (pendukung). Benih padi suci disimpan di leuit indung, dipandang sakral dan menjadi simbol kesinambungan hidup serta ketahanan pangan.
Pelestarian dan Pariwisata Budaya
Meskipun sempat mengalami kemunduran sejak runtuhnya Kerajaan Pajajaran dan masa penjajahan, tradisi Seren Taun mulai dihidupkan kembali oleh beberapa komunitas adat sejak awal tahun 2000-an. Cigugur me-revitalisasi upacara sejak 1926, kemudian dilanjutkan di Sindang Barang sejak 2006. Kini, festival ini mendapat perhatian tak hanya masyarakat lokal, tetapi juga wisatawan domestik maupun internasional .
Di Kasepuhan Gelar Alam, Sukabumi, acara ke-656 pada Oktober 2024 dimasukkan dalam kalender “Karisma Event Nusantara”, menunjukkan dukungan pemerintah dalam pengembangan pariwisata budaya.
Nilai Sosial dan Spiritual
Seren Taun bersifat inklusif dan lintas keyakinan, menghimpun warga dari berbagai latar agama, suku, dan status sosial. Hal ini menguatkan nilai kebersamaan dan spiritualitas lokal . Festival ini dianggap “Thanksgiving”-nya Sunda dan dipadukan dengan bentuk ritual dan estetika lokal, menjadikannya magnet kuat untuk wisata budaya .
Kesimpulan
Seren Taun adalah manifestasi harmoni antara manusia dan alam, syukur terhadap kesuburan, serta medium pengokohan ikatan komunitas Sunda. Rangkaian ritual, musik, tarian, dan juga mitosnya menunjukkan betapa kaya jiwa agraris dan spiritual masyarakat Sunda. Di era modern ini, Seren Taun tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menjadi daya tarik budaya yang diminati oleh generasi muda dan wisatawan sepanjang tahun.